Kamis, 02 Agustus 2012

Misteri Kanjeng Ratu Kidul


Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.
nyi roro kidung.jpg
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.
Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.
Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda

Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.
Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya.  

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta

Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?
Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.
Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno.
Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.

Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul

Masih banyak orang mempunyai anggapan bahwa Kanjeng Ratu Kidul sama dengan Nyi Roro Kidul. Dahulu kami berdua juga mempunyai anggapan seperti itu. Sejalan dengan bimbingan spiritual yang kami terima dari Guru Roh kami masing-masing, kami mulai tahu bahwa Kanjeng Ratu Kidul tidak sama dengan Nyi Roro Kidul.
Sekitar tahun 1998, waktu saya dan istri melakukan perjalanan ibadah keliling Pulau Jawa, waktu berada di pantai Parang Tritis Yogya, kami diterima oleh Eyang Ratu Kidul, demikian kami menyebut nama beliau, yang di-iringi oleh Nyi Roro Kidul sebagai pendamping.
Karena kedua sosok ini berdampingan, maka dengan jelas kami dapat mengetahui perbedaannya. Sosok jati dirinya persis sama, yang membedakan diantara keduanya adalah warna kulitnya. Eyang Ratu Kidul warna kulitnya seperti etnis Sunda, kuning langsat. Sedangkan Nyi Roro Kidul warna kulitnya seperti etnis Jawa, agak coklat. Kamudian yang paling mencolok perbedaannya adalah aura yang terpancar dari masing-masing tokoh ini. Eyang ratu Kidul mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat mengelilingi seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Roro Kidul berwarna putih susu seperti cahaya lampu neon, tipis putih mengikuti postur tubuhnya.
Eyang Ratu menjelaskan bahwa Nyi Roro kidul adalah patih atau kepala pengawal Eyang ratu. Nyi Roro Kidul adalah makhluk halus jenis jin yang mengabdi dan berguru kepada Eyang ratu. Nyi Roro Kidul ditugaskan untuk mengontrol dan meredam angkara murka dari makhluk-makhluk gaib jenis jin dan kekuatan gaib serta ilmu gaib yang berada disepanjang pantai selatan Pulau Jawa.
Eyang Ratu Kidul adalah Roh Suci dari tingkat langit yang tinggi, Roh Suci ini juga pernah turun di berbagai tempat di dunia dengan jati diri tokoh-tokoh suci setempat di jaman yang berbeda-beda pula.
Seperti tokoh Semar dan para tokoh suci yang lain, jati diri Eyang Ratu Kidul dan Nyi Roro kidul-pun banyak yang palsu. Umumnya yang memalsukan adalah jenis jin yang punya kemampuan atau punya kesaktian. Jadi perlu untuk selalu waspada, hati-hati dan teliti. Aura Eyang Ratu Kidul yang memancar gemerlapan seperti berlian tidak dapat dipalsukan oleh bangsa jin, akan tetapi tidak banyak orang yang dapat melihat aura ini

sumber : http://ibawel.com/threads/misteri-ratu-pantai-selatan-nyi-roro-kidul.1617/

Selasa, 31 Juli 2012

MENGENANG SANG WALI QUTUB (ABUYA DIMYATI)

MENGENANG SANG WALI QUTUB (ABUYA DIMYATI)
Ditulis oleh Yuliantoro S.Sos   
Tuesday, 25 August 2009
Sinopsis Buku: Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona langkah di Dua Alam)
Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren,  Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat  konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti   dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.
Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai.  Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi

Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”. (tor/abu-abu/Dari berbagai sumber)
Terakhir Diperbaharui ( Tuesday, 25 August 2009

Kisah Hanzhalah bin Abu Amir Pejuang Islam yang Dimandikan Malaikat





Kenikmatan dunia tidak sebanding nikmatnya menghadap sang Khalik dalam keaaan syahid. Begitulah prinsip yang dipegang oleh salah seorang sahabat Rosulullah saw, Hanzhalah Bin Abu Amir
Ia pemuda sedehana. Namun berkat ajaran suci Rosulullah saw, juga latar belakangnya yang bersahaja, ia pun tumbuh menjadi sosok yang tidak pernah minder, dn gampang putus asa. Ia tek pernah merasa gentar kala harus membela kebenaran risalah suci yang dibawa Nabi saw.
Pribadinya juga istimewa, karena Hanzhalah adalah Abu Amir Bin Syafy, yang biasa dipanggil Abu Amir. Abu Amir merupakan salah satu tokoh pemuka suku Aus pasa masa jahiliyah. Ketika ajaran islam mulai menerangi Madinah, t4empat ia tinggal, ia berada di garis terdepan barisan kaum penentang. Tak heran, Rosulullah saw menyebut Abu Amir dengan panggilan “Si Fasik”.
Abu Amir kemudian memilih meninggalkan Madinah agar bias menghindari seruan islam yang dibawa Rosulullah saw, sekaligus mencari teman yang bias diajak menumpahkan dendam. Ia pun bergabung dengan kaum kafir Quraisy pimpinan Abu Shufyan. Di tengah-tengah kaum Quraisy Makkah ini Abu Amir gencar melancarkan propaganda tentang perlunya membendung tumbuh-kembangnya islam, serta memusuhi Rosulullah saw
Sementara itu de Madinah dalam keadan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mengetahui rencana penyerangan pasukan Abu Shufyan. Madinah genting.
Dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati melangsungkan pernikahan. Sungguh tindakannya utu merupakan gambaransosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.
Sebagaimana layaknya pengantin baru, malam pertama Hanzhalah pun dilewati dengan penuh kebahagiaan. Penuh cinta, kasih sayang juga kemesraan. Semua itu seakan menjadi bumbu penyedap di setiap degup jantung di malam indah yang tidak mengharapkan pagi segera datang. Memng, saat seperti itu, hal-hal yang sebelumnya diharamkan bagi seorang laki-laki dan perempuan, berubah menjadi halal. Bahkan berpahala besar. Sebanding sengan membunuh 70 Yahudi!
Ketika kedua insane itu tengah asyik bercengkrama memadu kasih, tiba-tiba dari kejahuan terdengar seruan. Suara itu lama-lama terdengar makin keras. “Hayya’alal jihad, hayya’alal jihad…,” kian semangat.
Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinga Hanzhalah dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang ia nanti-nanti. Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri, kemudian bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Sejurus kemudian ia lari menuju medan perang.
Di daerah Uhud kaum muslimin mempertaruhkan nyaqwa menghadapi pasukan Abu Shufyan. Di gurun pasir yang kering dan tandus itu Hanzalah mencabut pedangnya lalu berkelebat mencari mangsa. Dengan gagah berani ia terobos pasukan musuh, yang jumlah mereka lebih banyak dari pasukan kaum muslimin. Satu persatu tubuh orang Quraisy terluka bersimbah darah dan juga tewas berkalang tanah terkena sabetan pedang Hanzhalah.
Kemahirannya bertempur benar-benar terbukti di perang Uhud ini. Hanzhalah bahkan berhasil menerobos brikade pasukan pengawal Abu Shufyan. Ia pun berhadap-hadapan langsung dengan tokoh Quraisy yang satu itu.
Menurut kesaksian bebrapa orang, Hanzhalah bertarung sengit melawa Abu Shufyan. Bahkan ia tampak lebih unggul dan hamper meraih kemenangan. Sejengkal lagi pedangnya yang tajam hendak menebas tubuh Abu Shufyan, pada saat itu juga, Syadad bin al-Aswad, seorang tokoh Quraisy lainnya, tiba-tiba menikam Hanzhalah dari belakang. Sengguh tindakan seorang pengecut. Cara bertarung yang tidak jantan. Namun semua sudah ditakdirkan Allah SWT, sang pengantin baru itu pun gugur sebagai syuhada.Hanzhalah meninggal dengan senyum penuh kemenangan.
Perang Uhud memang mengakibatkan kerugian besar bagi umat islam. Salah satunya adalah gugurnya Hamzah bin Abu Mutholib, pelindung Nabi saw dan pembela islam yang gigih. Termasuk Hanzhalah dan para sahabat yang lainnya.
Saat Rosulullah saw dan para sahabat lainnya melakukan pengecekan jenazah, beliau menemukan jasad Hanzhalah. Betapa beliau terkejut, atas ijin Allah SWT, beliau melihat jasad Hanzhalah tengah dimandikan para malaikat. Sebuah peristiwa yang belum pernah beliau saksikan sebelumnya.
Peristiwa luar biasa itu pun beliau kabarakan kepeda para sahabat. Membuat Abu Sa’ad as-Saidi penasaran dan mendekati jasad Hanzhalah, hendak mencari tahu banyak. Kedua matanya pun terbelalak. Ia melihat ada bekas tetesan air di kepala jenazah Hanzhalah yang menyunggingkan senyum itu.
Apa yang terjadi pada jenazah Hanzhalah itu memebuat para sahabat bertanya-tanya. Di rumah Hanzhalah, seorang sahabat menceritakan peristiwa tersebut kepada istri Hanzhalah. Perempuan shalihah yang cantik dan anggun itu pun menjawab, “Dia pergi ke medan perang ketika mendengar seruan jihad. Padahal pada waktu itu dia masih dalam keadaan junub.”
Rosulullah pun menjelaskan, “Sebab itulah ia dimandikan para malaikat.”
Hanzhalah bin Abu Amir kemudian dikenal dengan sebutan “Ghoisulmalaikat”    (orang yang dimandikan para malaikat).

By: Ruslan NZ
Pernah dimuat “Suara Muhammadiyah” NO. 15 TH KE-90 // 1 – 15  AGUSTUS 2005 M

Manusia yang pernah berjabat tangan dengan Nabi Khaidir AS.. Kisah Habib Soleh bin Muhsin Al Hamid


Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid yang paling kanan.

Membicarakan karamah Habib Sholeh tidak bisa lepas dari peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Nabi Khidir AS. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah.

Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya memang dekat dengan rumahnya. Tiba-tiba datang seorang pengemis meminta uang. Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki. Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang. Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik, adalah cirri fisik nabi Khidir. Tangannyapun dipegang erat-erat oleh Yek Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemispun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu.Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang yang berpakaian serba hitam dan meminta Yik Sholeh untuk menunjukkan rumah habib Sholeh. Karena di sekitar sana tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada, tuan, nama Habib Sholeh, yang ada Sholeh, saya sendiri, “Kalau begitu andalah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang.

Sejak itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi oraang, mujlai sekedar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Mantan wakil Presiden Adam malik adalah satu dari sekian pejabat yang sering sowan kerumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau, jika Habib Sholeh ke Jakarta, menjemputnya bejibun, melebihi penjemputan Presiden,” ujar KH. Abdillah yang mengenal dengan baik Habib, menggambarkan.

KH.Ahmad Qusyairi bin Shiddiq adalah sahabat karib habib. Dulunya Habib Sholeh sering mengikuti pengajian KH. Ahmad Qusyairi di Tanggul, tetapi setelah tanda-tanda kewalian Habib mulai menampak, ganti KH. Qusyairi yang mengaji kepada Habib.

Menjelang wafat, KH. Qusyairi sowan kepada Habib. Tidak seperti biasa, kala itu sambutan Habib begitu hangat, sampai dipeluk erat-erat. Habib pun mnyembelih seekor kambing khusus menjamu sang teman karib. Disela-sela bercengkrama, Habib mengatakan bahwa itu terakhir kali yang ia lakukan. Ternyata beberapa hari kemudian KH. Qusyairi wafat di kediamannya di Pasuruan.

Tersebutlah seorang jenderal yang konon pernah mendapat hadiah pulpen dari Presiden AS D. Esenhower. Suatu ketika pulpen itu raib saat dibawa ajudannya kepasar (kecopetan). Karuan saja sang ajudan kalang kabut, sehingga disarankan oleh seorang kenalannya agar minta tolong ke Habib Sholeh.

Sampai di sana, Habib menyuruh mencari di Pasar Tanggul. Sekalipun aneh, dituruti saja, dan ternyata pulpen itu tidak ditemukan. Habib menyuruh lagi, lagi-lagi tidak ditemukan. Karena memaksa, Habib masuk kedalam kamarnya, dan tak lama kemudian keluar dengan menjulurkan sebuah Pulpen. “Apa seperti ini pulpen itu? Sang ajudan tertegun, karena ternyata itulah pulpen sang jenderal yang sudah pindah ke genggaman pencopet.

Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menuturkan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara Kaffah. Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa Istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah.

Tengok saja komitmen Habib terhadap nilai-nilai keislaman, termasuk keperduliannya terhadap fakir miskin, janda dan anak yatim, menjadi juru damai ketika ada perselisihan. Beliau dikenal karena akhlak mulianya, tidak pernah menyakiti hati orang lain, bahkan berusaha menyenangkan hati mereka, sampai-sampai dikenal tidak pernah permintaan orang. Siapapun yang bertamu akan dijamu sebaik mungkin. Habib Sholeh sering menimba sendiri air sumur untuk mandi dan wudu para tamunya.

Maka buah yang didapat, seperti ketika Habib Ahmad Al-Hamid pernah berkata kepada baliau, kenapa Allah selalu mengabulkan doanya. Habib Sholeh menjawab, “Bagaimana tidak? Sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat-Nya Murka.”

Sumber : Pustaka

Kisah Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan


Syeikh Abdul Muhyi adalah Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan yaitu kuningan, pamengpeuk, Batuwangi, Pamijahan tasikmalaya.
seorang Ulama Tarekat Syattariyah karena guru beliau adalah syeikh Abdur Rauf Singkel seorang sufi dan guru Tarekat Syattaiyah yang berasal dari Singkel-Aceh

ASAL USUL DAN PENDIDIKAN
Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya daripada ayahnya sendiri dan kemudian daripada para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Aceh untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dengan Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Lebih kurang enam tahun lamanya Syeikh Abdul Muhyi belajar dengan ulama besar Aceh itu, iaitu dalam lingkungan tahun 1090 H/1679 M-1096 H/1684 M.

Tahun pembelajaran Syeikh Abdul Muhyi di Aceh kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu, kita dapat membandingkan dengan tahun pembelajaran Syeikh Burhanuddin Ulakan yang dipercayai termasuk seperguruan dengannya.
Syeikh Burhanuddin Ulakan yang berasal dari Minangkabau itu belajar kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri bermula pada 1032 H/1622 M, tetapi tahun ini tetap masih dipertikaikan kerana riwayat yang lain menyebut bahawa ulama yang berasal dari Minangkabau itu dilahirkan pada tahun 1066 H/1655 M.

Maka kita perlu membandingkan dengan tahun kelahiran Syeikh Yusuf Tajul Khalwati dari tanah Bugis-Makasar, iaitu 1036 H/1626 M, selanjutnya keluar dari negerinya menuju ke Banten 1054 H/1644 M, seterusnya ke Aceh belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri juga. Selain itu, dapat juga kita bandingkan dengan tahun kehidupan Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis) Terengganu, iaitu tahun 1060 H/1650 M hingga tahun 1092 H/1681 M; Semua ulama yang tersebut dikatakan adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Banyak pula ulama bercerita bahawa semua mereka termasuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan adalah bersahabat.
Bliau diriwayatkan sempat belajar ke luar negeri ke Mekah, Madinah, Baghdad dan lain-lain. Termasuk Syeikh Abdul Muhyi diriwayatkan adalah murid kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani di Mekah dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, yang kedua-dua ulama itu adalah ulama ahli syariat dan haqiqat yang paling terkenal pada zamannya.

Setelah Syeikh Abdul Muhyi lama belajar di Mekah dan Madinah, beliau melanjutkan pelajarannya ke Baghdad. Tidak jelas berapa lama beliau tinggal di Baghdad, tetapi diriwayatkan ketika beliau berada di Baghdad hampir setiap hari beliau menziarahi makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang sangat dikaguminya.

Dalam percakapan masyarakat, Syeikh Abdul Muhyi adalah termasuk keturunan/zuriat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Allah, Quthbul Ghauts, yang sangat terkenal itu. Riwayat yang lain diceritakan bahawa Syeikh Abdul Muhyi ke Baghdad dan Mekah adalah mengikuti rombongan gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Dari Baghdad beliau kembali lagi ke Mekah dan selanjutnya kembali ke Jawa dan berkahwin di Ampel.

Guru Beliau Syeikh Abdu Rauf Singkel adalah ulama yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh (paham wahdatul wujud/wujuddiyyah) dengan paham sunah. Paham inilah yang dibawa oleh Syekh Abdul Muiyi Pamijahan ketanah jawa. Setelah menikah Ia dan keluarganya meninggalkan ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat. Mereka tiba di darma (termasuk daerah kuningan). Atas permintaan masyarakat setempat agar Ia menetap selama tujuh (7) tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran islam, kemudian Ia kembali mengembara dan sampai di pamengpeuk garut dan hanya menetap selama satu (1) tahun ( 1678-1679) untuk menyebarkan agama islam di mana ketika itu masyarakat setempat yang masih beragama hindu .
Setelah itu mereka kembali mengembara hingga batuwangi, lebaksiuh dan menetap selama empat tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun tersebut Ia berhasil mengislamkan penduduk yang sebelumnya beragama hindu. Menurut cerita rakyat keberahasilannya dalam melakukan dakwah karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. di sini Ia mendirikan mesjid sebagai tempat pengajian untuk mendidik para kader yang akan membantunya menyebarkan agama islam lebih jauh ke selatan jawa barat. Setelah empat tahun menetap di lebaksiuh , Ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang di kenal sebagai gua safar wadi di pamijahan- tasikmalya-jawa barat.


Menurut cerita rakyat kehadirannya di gua safar wadi atas undangan bupati sukapura yang meminta beliau menumpas aji-aji hitam batara karang di pamijahan. Disana terdapat gua tempat pertapaan orang-orang menuntut aji-aji hitam. Beliau dapat memenanginya. Ia kemudian menjadikan gua sebagai permukiman bagi keluarga dan pengikutnya. Gua tersebut sangat sesuai untuk melakukan semedi menurut ajaran syatariyah. Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya, Ia dan santrinya menyebarkan agama islam di kampung bojong (6 Km dari gua), yang sekarang dikenal sebagai kampung bengkok. sambil sesekali kembali ke gua safar wadi. Sekitar 2 Km dari kampung bengkok Ia mendirikan kampung yang sekarang terkenal sebagai kampung safa wadi. di kampung ini Ia mendirikan mesjid yang sekarang komplek mesjid agung pamijahan.

AKTIVITAS
Setelah selesai perkahwinan di Ampel, Syeikh Abdul Muhyi bersama isteri dan orang tuanya berpindah ke Darma, dalam daerah Kuningan, Jawa Barat. Selama lebih kurang tujuh tahun (1678 M-1685 M) menetap di daerah itu mendidik masyarakat dengan ajaran agama Islam. Kemudian berpindah pula ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Di daerah itu, beliau hanya menetap lebih kurang setahun saja (1685-1686), walau bagaimanapun beliau berhasil menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu.

Pada 1686 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari selepas pemakaman ayahnya, Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke daerah Batuwangi. Beliau berpindah pula ke tempat yang berhampiran dengan Batuwangi iaitu ke Lebaksiuh. Selama lebih kurang empat tahun di Lebaksiuh (1686 M-1690 M), Syeikh Abdul Muhyi berhasil mengislamkan penduduk yang masih beragama Hindu ketika itu.

Menurut cerita, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama kerana Syeikh Abdul Muhyi adalah seorang Wali Allah yang mempunyai karamah, yang dapat mengalahkan bajingan-bajingan pengamal "ilmu hitam" atau "ilmu sihir". Di sanalah Syeikh Abdul Muhyi mendirikan masjid, tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bahagian selatan Jawa Barat.

Kemudian Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke satu desa, iaitu Gua Safar Wadi di Karang Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Perpindahannya ke Karang Pamijahan itu, menurut riwayat bahawa beliau diperintahkan oleh para Wali Allah dan perjumpaan secara rohaniah kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, supaya beliau mencari suatu gua untuk tempat berkhalwat atau bersuluk di Jawa Barat. Cerita mengenai ini banyak dibungai dengan berbagai-bagai dongeng yang merupakan kepercayaan masyarakat terutama golongan sufi yang awam.

Bagi mengimbangi cerita yang bercorak mitos itu, ada riwayat yang bercorak sejarah, bahawa Syeikh Abdul Muhyi diundang oleh Bupati Sukapura, Wiradadaha IV, R. Subamanggala untuk memerangi dan membasmi ajaran-ajaran sihir yang sesat Batara Karang di Karang Pamijahan dan di gua Safar Wadi itu. Di kedua-dua tempat tersebut adalah tempat orang-orang melakukan pertapaan kerana mengamalkan ilmu-ilmu sihirnya.

Oleh sebab Syeikh Abdul Muhyi memang hebat, beliau pula dianggap sebagai seorang Wali Allah, maka ajaran-ajaran sihir yang sesat itu dalam waktu yang singkat sekali dapat dihapuskannya. Penjahat-penjahat yang senantiasa mengamalkan ilmu sihir untuk kepentingan rompakan, penggarongan dan kejahatan-kejahatan lainnya berubah menjadi manusia yang bertaubat pada Allah, setelah diberikan bimbingan ajaran Islam yang suci oleh Syeikh Abdul Muhyi, Wali Allah yang tersebut itu.

Gua Safar Wadi pula bertukar menjadi tempat orang melakukan ibadat terutama mengamalkan zikir, tasbih, tahmid, selawat, tilawah al-Quran dan lain-lain sejenisnya. Maka terkenallah tempat itu sebagai tempat orang melakukan khalwat atau suluk yang diasaskan oleh ulama yang terkenal itu.

Disingkatkan saja kisahnya, bahawa kita patut mengakui dan menghargai jasa Syeikh Abdul Muhyi yang telah berhasil menyebarkan Islam di seluruh Jawa Barat itu. Bukti bahawa beliau sangat besar pengaruhnya, sebagai contoh Bupati Wiradadaha IV, iaitu Raden Subamanggala pernah berwasiat bahawa jika beliau meninggal dunia supaya beliau dikuburkan di sisi gurunya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu. Tempat tersebut sekarang lebih dikenali dengan nama Dalem Pamijahan.

Murid-murid yang tertentu, Syeikh Abdul Muhyi mentawajjuhkannya menurut metod atau kaedah Thariqat Syathariyah yang salasilahnya diterima daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Walaupun tarekat yang sama diterimanya juga kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, iaitu guru juga kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, namun Syeikh Abdul Muhyi memulakan salasilahnya tetap menyebut Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hal demikian kerana tarekat yang tersebut memang terlebih dulu diterimanya daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al Fansuri.

Setelah beliau ke Mekah, diterimanya tawajjuh lagi daripada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi itu. Maka berkembanglah Thariqat Syathariyah yang berasal daripada penyebaran Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu di tempat-tempat yang tersebut, melalui bai'ah, tawajjuh, dan tarbiyah ruhaniyah yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Muhyi muridnya itu.

KETURUNAN
Menurut riwayat, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan mempunyai empat isteri. Hasil perkahwinannya itu, beliau memperoleh seramai 18 anak. Menerusi Raden Ayu Bakta, memperoleh anak bernama Kiyai Haji Muhyiddin atau digelar Dalem Bojong. Namun menurut Aliefya M. Santrie, dalam buku Warisan Intelektual Islam Indonesia, setelah beliau pulang dari Pamijahan beliau menemukan satu artikel dalam majalah Poesaka Soenda yang menunjukkan bahawa tidak identiknya Kiyai Haji Muhyiddin dengan Dalem Bojong.

Kedua-duanya memang anak Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, tetapi Kiyai Haji Muhyiddin personaliti tersendiri dan Dalem Bojong personaliti yang lain pula. Menurutnya makam Kiyai Haji Muhyiddin dalam majalah itu disebut namanya yang lain, iaitu Bagus Muhyiddin Ajidin, terletak di sebelah selatan makam Syeikh Abdul Muhyi, sedang makam Dalem Bojong terletak di sebelah timur.

Barangkali keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu sangat ramai yang menjadi ulama di daerah Jawa Barat, sewaktu penulis berulang-alik di Pondok Gentur, Cianjur (1986 M-1987 M) difahamkan bahawa Kiyai Haji Aang Nuh di pondok pesantren adalah termasuk keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Penulis sendiri menerima beberapa amalan wirid dari kiyai itu dan ternyata memang terdapat hadiah al-Fatihah untuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan beberapa ulama lainnya untuk memulakan amalan.

Dari Kiyai Haji Aang Nuh juga, penulis mendengar cerita-cerita yang menarik mengenai Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sampai sekarang Pondok pesantren Gentur dikunjungi mereka yang mempunyai permasalahan yang sukar diselesaikan dari seluruh Indonesia, tempat itu sentiasa ramai kerana doa kiyai itu dianggap mustajab.

Di Pondok-pesantren Gentur itu tidak mengajar disiplin ilmu sebagai pondok-pesantren lainnya, di situ hanya mengajar amalan-amalan wirid terutama selawat atas Nabi Muhammad. Penulis sempat mewawancara pengunjungnya, menurut mereka wirid atau amalan yang diterima dari kiyai itu terbukti mustajab.

Oleh sebab kepopularan ulama yang dianggap Wali Allah ini, beberapa sejarawan, budayawan dan lain-lain telah berusaha menyelidiki biografi ulama yang berasal dari Pulau Lombok itu. Di antara mereka umpamanya seorang Belanda, Snouck Hurgranje, pernah mengembara di Jawa Barat dan di Sukabumi menemukan beberapa naskhah karya yang dibangsakannya kepada karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan.

R. Abdullah Apap ibn R. Haji Miftah menyusun sebuah buku berjudul, Sejarah Pamijahan: Kisah Perjuangan Syeik Haji Abdulmuhyi Mengembangkan Agama Islam di Sekitar Jabar. Aliefya M. Santrie menulis artikel Martabat (Alam) Tujuh Suatu Naskah Mistik Islam Dari Desa Karang, Pamijahan. Dan ramai lagi tokoh yang membuat kajian mengenai ulama yang dibicarakan ini.

Khas mengenai artikel Aliefya M. Santrie yang lebih menjurus kepada pengenalan ajaran Martabat Tujuh versi Kiyai Haji Muhyiddin yang ditulis dengan huruf pegon. Setelah penulis teliti dan membanding dengan naskhah yang ada pada penulis yang ditulis dalam bahasa Melayu/Jawi, yang juga tercatat sebagai karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, memang banyak persamaan.

Demikian juga dengan manuskrip koleksi Muzium Islam Pusat Islam Malaysia nombor kelas MI 839, membicarakan Martabat Tujuh yang merupakan nukilan karya Syeikh Abdul Muhyi itu.

Sungguhpun demikian perlu kita ketahui bahawa ajaran Martabat Tujuh sebenarnya bukanlah ciptaan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan tetapi yang pertama membicarakan ajaran itu ialah dalam kitab bahasa Arab berjudul Tuhfatul Mursalah karya Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab tersebut disyarah oleh Syeikh Abdul Ghani an-Nablusi.

Martabat Tujuh dalam bahasa Melayu selain yang dibicarakan oleh Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan juga banyak, dimulai oleh ulama-ulama tasawuf di Aceh, diikuti oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan Ad-Durrun Nafisnya, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani juga membicarakannya dalam Siyarus Salikin, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam Manhalus Shafi dan ramai lagi.

Oleh itu, perkembangan ilmu tersebut di dunia Melayu tumbuh subur, tak ubahnya seperti perkembangan ilmu tauhid metode sifat 20 dan fiqh menurut Mazhab Syafie pada zaman itu.

Sebagai menutup artikel ini, perlu juga penulis sebutkan sungguhpun Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan terkenal di seluruh Jawa Barat tetapi riwayat hidupnya hampir-hampir tak dikenal di dunia Melayu lainnya. Oleh itu, artikel ini adalah satu usaha memperkenalkannya yang disejajarkan dengan ulama-ulama terkenal yang lain, yang hidup sezaman dengannya, iaitu Syeikh Abdul Malik Terengganu Syeikh Burhanuddin Ulakan, Syeikh Yusuf Khalwati, Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani dan banyak lagi lainya
=== Dari berbagai sumber

Pertualangan Kian Santang

Kala kehancuran Majapahit telah diboyong oleh Demak Bintoro, dan peradaban Hindu kian menyusut oleh ajaran Islam, seorang resi agung yang dahulunya menjadi panglima kerajaan Majapahit datang menemui Resi Wanayasa Agung Bimantara Cakra Bumi (julukan Mbah Kuwu Cakra Buana, kala itu) beliau adalah mantan panglima besar Damar Wulan.
Setelah sembah sujud dihadapannya, Damar Wulan, langsung menghaturkan maksud dan tujuannya:
Duhhh…… Rayi…terimalah hamba sebagai muridmu, sesungguhnya jeng Nabi Muhammad SAW, telah mendatangiku untuk memohon Syafaatmu yang membawa kebajikan dunia akherat, berilah hamba setetes ilmumu wahai putra Siliwangi”.
Lalu Mbah Kuwu Cakra Buana, menengadah wajahnya ke atas dan dilihatnya di alamul Lauh Mahfudz, nama Damar Wulan, telah tercatat sebagai Insanul Jannah di akhir hayatnya kelak. Maka beliaupun men-Syahid Damar Wulan, dan  diberikannya ilmu ke Ma’rifatan berupa “Pancawarna Tunggal Jati”.
Selang seminggu kemudian Damar Wulan, datang kembali menemui gurunya Mbah Kuwu Cakra Buana: “Wahai Wali Allah,,,sungguh mulia sekali ilmu Pancawarna Tunggal jati, yang kau berikan kepadaku….. Dahulu saya berpikiran bahwa ilmu yang ada padaku sudah kurasa cukup, namun dengan adanya ilmu Pancawarna Tunggal Jati, semuanya tiada berarti sama sekali. Kini aku sudah maujud dengan apa yang ku cari selama ini, semoga pulau Jawa, akan menjadi bagianmu kelak”. Lalu Damar Wulan-pun menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Dikisahkan pula pada abad 14, dimana para WaliSongo, sudah menduduki maqomnya masing-masing, salah satu dari putra Prabu Siliwangi, yang bernama Kian Santang, malah sebaliknya bertolak belakang dengan sifat kakaknya Prabu Walang Sungsang atau Mbah Kuwu Cakra Buana, yang terkenal arif dan bijaksana.
Kian Santang, dengan jiwa mudanya selalu berambisi untuk menjadi orang No-1 dalam ilmu kesaktian, beliau juga tak segan menantang siapapun yang dianggapnya sakti, baik yang berasal dari aliran putih maupun hitam. Bahkan dimana beliau kedapatan kabar, ada salah satu orang sakti di suatu daerah, beliau langsung mendatanginya untuk mengadu ilmu kesaktian.
Tak jarang para resi dan pertapa lainnya menjadi tumbal kesaktiannya juga para jawara maupun pembunuh bayaran yang benci akan ulahnya tak luput kena getahnya pula.
Hingga di suatu hari beliau kedapatan informasi bahwa di daerah Mekkah, ada salah satu jawara pilih tanding yang terkenal akan kesaktiannya. Tanpa buang waktu beliaupun langsung terbang menuju arah yang dimaksud.
Disini Allah SWT, telah menunjukkan jalan terang baginya, karena sesungguhnya yang di cari Kian Santang, adalah Saiyidina Ali RA, Sahabat Nabi Muhammad SAW, yang kurun dan waktunya sudah jauh berbeda.
Namun atas keagungan-Nya… Saiyidina Ali RA, diturunkan kembali ke bumi untuk membuka hidayah baginya menuju jalan yang di ridhoi Allah SWT.
Sesampainya di tanah suci Mekkah, Kian Santang, langsung bertanya kepada seorang kakek pembawa tongkat: “Wahai kisanak,,,,taukah anda dimana tempat tinggalnya Ali, yang katanya mempunyai ilmu kesaktian luar biasa?”
Yang ditanya diam saja dan sambil menancapkan tongkatnya ke tanah, sang kakek tadi langsung meninggalkan Kian Santang, seorang diri.
Dalam hati Kian Santang, berkata!! Pasti orang ini tahu dimana Ali, berada, maka di kejarlah kakek tadi: “Wahai kakek jangan bikin aku gusar,,,,tolong katakan di mana rumah Ali”. Dengan nada kasar.
Wahai anak muda, memang aku tahu di mana Ali, berada, namun tolong ambilkan tongkatku,,,aku lupa membawanya” sambil sang kakek menunjuk tongkatnya yang beliau tancapkan tadi.
Kian Santang, dengan entengnya mendatangi tongkat sang kakek, yang tak lain adalah Saiyidina Ali RA, sendiri,,,, Beliaupun langsung mencabutnya. Namun……….apa yang terjadi…..Jangankan tongkat itu tercabut,,,bergerakpun juga tidak.
Berkali-kali Kian Santang, merapalkan ajian untuk bisa mencabut tongkat itu namun semuanya sia-sia. Tahu siapa yang dihadapinya saat ini,,,, beliaupun langsung sujud di kaki Saiyidina Ali RA.
Wahai kisanak,,,aku mengaku kalah dan ijinkan aku pulang
Dengan rasa malu Kian Santang, langsung cabut diri, beliau merapalkan ajian terbangnya. Namun lagi-lagi ilmu yang di milikinya tak bisa membawanya pulang. Bahkan bukanya dia langsung raib seperti biasanya, malah sekarang dirinya seperti katak sedang berjongkok, diam dan masih di tempat semula.
Dengan tersenyum Saiyidina Ali RA, berkata: “Kisanak, bila engkau ingin pulang, ada satu ilmu yang bisa menghantarkanmu sampai ke pulau Jawa”.
Merasa dirinya ada harapan,,,, maka di turutilah ucapan sang kakek tadi dan setelah keduanya singgah di salah satu bangunan tua, Saiyidina Ali RA, yang sudah mengenalkan jati diri kepada Kian Santang, mulai mengajarkan Kalimat Syahadatain dan Hakikat Bismillahirrohmanirrohiim.
Selang beberapa hari kemudian Saiyidina Ali RA, menyudahi pengajarannya:
Wahai Andika, kini sudah saatnya kau pulang, carilah orang yang tubuhnya bercahaya (Nur ke- Walian) berikanlah sorban dan batu ini (kenanga lonjong) padanya, sesungguhnya dialah bagian dari darah putraku Husen. Mengabdillah padanya”.
Dengan menghaturkan sembah bakti, Kian Santang, langsung terbang menuju pulau Jawa. Siang malam beliau terus mencari orang yang bakal menjadi gurunya kelak, rasa haru dan ingin segera bertemu membuatnya haus akan Islam semakin bertambah.
Berbulan-bulan beliau terus mencari dari satu tempat ke tempat lainnya, namun apa yang dicarinya belum juga di ketemukan. Teringat akan kakandanya yang sudah lebih dulu masuk islam, beliaupun langsung mendatanginya guna minta petunjuk atas ciri dari orang yang selama ini di carinya.
Tepatnya pada malam 10 As-Syura tahun 1421M, dimana masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, sedang menggelar Tasyakkur Akbar, atas pergantian tahun Islam, ditengah keramaian umat manusia, seberkas cahaya terang benderang telah menahan kaki Kian Santang, yang akan menuju rumah kakandanya. Ya….Cahaya itu datangnya dari dalam masjid Agung.
Dengan hati berdebar Kian Santang, membelokkan langkahnya menuju pintu dalam masjid, semakin dekat cahaya itu semakin menyilaukan matanya hingga beliau tak sadar kakinya terjatuh atas banyaknya orang yang berlalu lalang di dalam masjid.
Secara spontan Kian Santang, berkata sangat keras!!: “Wahai Nurulloh…..Wahai Waliyulloh….Wahai Ma’rifatulloh…Wahai orang yang mempunyai darah Saiyidina Husen!!!!” Tak ayal ucapannya ini membuat semua orang yang hadir tertuju padanya.
Dengan keadaan masih terduduk karena terjatuh tadi, tiba-tiba Mbah Kuwu Cakra Buana, sudah berada dihadapannya.
Melihat keyakinannya yang begitu matang serta perjalanannya yang cukup lama dalam mencari seorang guru Mursyid, Allah- pun  membutakan mata kasarnya dan menggantinya dengan hati Muthmainnah keagungan, sehingga sewaktu melihat apa yang ada di hadapannya saat itu, beliau hanya melihatnya Nur (cahaya ke Walian) yang begitu besar dan agung.
Kian Santang, langsung menubruknya sambil menangis hesteris: “Ya Allah, jadikanlah aku muridnya, dan jadikanlah aku dalam Syafaatnya, sesungguhnya aku tak mampu jauh darinya, Kau sudah menemukan apa yang aku cari selama ini, satukanlah diriku dengan guruku selama-lamanya”.
Dengan perkataan Kian Santang, barusan, semua yang hadir langsung berucap “Asyhadu Anlaa Ilaha Illalloh, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh!!” Kalimah inilah yang biasa di pakai para Waliyulloh, dimana ada salah satu orang yang diangkat derajatnya menjadi Waliyulloh A’dzom.
Setelah sorban dan batu Kenanga Derajat, pemberian Saiyidina Ali Ra, diserahkan kepada kakaknya, Kian Santang, mulai mengabdi. Dan sejak itu pula beliau tidak pernah satu kalipun memanggil Mbah Kuwu Cakra Buana, dengan panggilan kakak, melainkan beliau memanggilnya dengan sebutan, Syaikhun Kamil atau Syeikhina Ruhul ‘Adzom.
Lima belas tahun Kian Santang, mengabdi kepada kakandanya, dan selama itu pula beliau tidak pernah berani menanyakkan sesuatu apapun kecuali gurunya sendiri yang meyuruh.
Pada suatu malam Mbah Kuwu Cakra Buana, memanggil adiknya Kian Santang: “Adikku….kau kini boleh pergi,,,kurasa ilmumu sudah cukup, sebarkanlah Islam, sebagaimana Rosululloh SAW, mengajarkan pada umatnya”.
Bila selama kau ikut denganku ada yang musykhil atau kurang paham, katakan saja padaku sehingga hatimu bersih dari sifat Tadbir/hayalan” Dan dengan sifat khiidmat, Kian Santang-pun bertanya secara hati-hati.
Guruku yang di hormati Allah, memang benar apa yang Syeikh, katakan tadi, sesungguhnya selama ini ada ganjalan yang selalu membebani hatiku. Bila Syeikh berkenan menjawab, saya hanya ingin tahu amalan atau ibadah yang bagaimana sehingga sewaktu pertama kali ku bertemu, tubuh Syeikh sangat bersinar terang. Dan mengapa Saiyidina Ali RA, mengatakan bahwa Syeikh,, bagian dari darah Saiyidina Husen” .
Dengan senyum mengembang, Mbah Kuwu Cakra Buana, menerangkannya: “Adikku, siapapun itu orangnya, bila kita telah diakui oleh alam semesta, niscaya maqomatlah yang menjadi baluran bajunya, dan dimana mereka ditempatkan, maka semuanya tunduk atas karomahnya, tak lain semua itu berawal dari derajatku sendiri, Pancawarna Tunggal Jati”.
Allah, telah menempatkan Asbabnya masing-masing, dan Allah, tidak pernah melihat hambanya dengan ibadah lahir maupun ilmu kulit, melainkan Allah, akan selalu melihat hambannya dengan cara ketundukkan hamba itu sendiri sebagai Thobaqo Antobaqnya manusia terhadap Tuhannya. Sebagai ahli Jawa, Allah, telah mengutus Malaikat Jibril AS, yang di sampaikan kepada Nabiyulloh Hidir AS, guna menjumpaiku, dengan memberikan ilmu Pancawarna Tunggal Jati. Ilmu ini bagian dari sastra alam semesta, dimana ilmu ini telah menyatu, maka seluruh alam semesta tunduk dalam genggaman tangan (Quthbul Muthlak)
“Sedangkan mengapa Aku di sebut sebagai titisan darah Saiyidina Husen. Semua tak lain, karena keturunanmu dan keturunanku bukan dari jalurnya melainkan dari Hyang Wisnu dan Batara Brahma. Namun sejak zaman Nabi Adam AS, hingga kini, Allah, telah menempatkanku ditengah jalan keduanya, yaitu menikahkan putriku Pakungwati (dari keturunan Batara) dengan Syarif Hidayatulloh (dari keturunan Islam) sehingga dengan bersatunya kedua aliran ini tidak ada suatu perbedaanpun diantara keduannya untuk menuju Allah SWT.

Senin, 30 Juli 2012

Kisah Wali Allah Yang Sholat Diatas Air



Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang temasuk ahli perniagaan berlepas dari sebuah pelabuhan di Mesir. Apabila kapal itu berada di tengah lautan maka datanglah ribut petir dengan ombak yang kuat membuat kapal itu terumbang-ambing dan hampir tenggelam. Berbagai usaha dibuat untuk mengelakkan kapal itu dipukul ombak ribut, namun semua usaha mereka sia-sia sahaja. Kesemua orang yang berada di atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada kapal dan diri mereka.
 
Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang lelaki yang sedikitpun tidak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil berzikir kepada Allah S.W.T. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang sedang terunbang-ambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan solat di atas air.
 
Beberapa orang peniaga yang bersama-sama dia dalam kapal itu melihat lelaki yang berjalan di atas air dan dia berkata, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!" Lelaki itu tidak memandang ke arah orang yang memanggilnya. Para peniaga itu memanggil lagi, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!"
 
Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan berkata, "Apa hal?" Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa. Peniaga itu berkata, "Wahai wali Allah, tidakkah kamu hendak mengambil berat tentang kapal yang hampir tenggelam ini?"
 
Wali itu berkata, "Dekatkan dirimu kepada Allah."
 
Para penumpang itu berkata, "Apa yang mesti kami buat?"
 
Wali Allah itu berkata, "Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat."
 
Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa mereka selamat. Kemudian mereka berkata, "Wahai wali Allah, kami akan membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat."
 
Wali Allah itu berkata lagi, "Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah."
 
Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke atas air dan berjalan meng hampiri wali Allah yang sedang duduk di atas air sambil berzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandungi muatan beratus ribu ringgit itu pun tenggelam ke dasar laut.
 
Habislah kesemua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu.
 
Salah seorang daripada peniaga itu berkata lagi, "Siapakah kamu wahai wali Allah?"
 
Wali Allah itu berkata, "Saya adalah Awais Al-Qarni."
 
Peniaga itu berkata lagi, "Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang dihantar oleh seorang jutawan Mesir."
 
WaliAllah berkata, "Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu, adakah kamu betul-betul akan membahagikannya kepada orang-orang miskin di Madinah?"
 
Peniaga itu berkata, "Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah."
 
Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun mengerjakan solat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada Allah S.W.T agar kapal itu ditimbulkan semula bersama-sama hartanya.
 
Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain tetap seperti asal. Tiada yang kurang.
 
Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Apabila sampai di Madinah, peniaga yang berjanji dengan wali Allah itu terus menunaikan janjinya dengan membahagi-bahagikan harta kepada semua fakir miskin di Madinah sehingga tiada seorang pun yang tertinggal. Wallahu a�alam.
 
sumber:  http://rud1.abatasa.com/post/detail/2159/kisah-wali-allah-yang-sholat-diatas-air