Kala kehancuran Majapahit telah diboyong
oleh Demak Bintoro, dan peradaban Hindu kian menyusut oleh ajaran
Islam, seorang resi agung yang dahulunya menjadi panglima kerajaan
Majapahit datang menemui Resi Wanayasa Agung Bimantara Cakra Bumi
(julukan Mbah Kuwu Cakra Buana, kala itu) beliau adalah mantan panglima
besar Damar Wulan.
Setelah sembah sujud dihadapannya, Damar Wulan, langsung menghaturkan maksud dan tujuannya:
“Duhhh…… Rayi…terimalah hamba
sebagai muridmu, sesungguhnya jeng Nabi Muhammad SAW, telah mendatangiku
untuk memohon Syafaatmu yang membawa kebajikan dunia akherat, berilah
hamba setetes ilmumu wahai putra Siliwangi”.
Lalu Mbah Kuwu Cakra Buana, menengadah
wajahnya ke atas dan dilihatnya di alamul Lauh Mahfudz, nama Damar
Wulan, telah tercatat sebagai Insanul Jannah di akhir hayatnya kelak.
Maka beliaupun men-Syahid Damar Wulan, dan diberikannya ilmu ke
Ma’rifatan berupa “Pancawarna Tunggal Jati”.
Selang seminggu kemudian Damar Wulan, datang kembali menemui gurunya Mbah Kuwu Cakra Buana: “Wahai
Wali Allah,,,sungguh mulia sekali ilmu Pancawarna Tunggal jati, yang
kau berikan kepadaku….. Dahulu saya berpikiran bahwa ilmu yang ada
padaku sudah kurasa cukup, namun dengan adanya ilmu Pancawarna Tunggal
Jati, semuanya tiada berarti sama sekali. Kini aku sudah maujud dengan
apa yang ku cari selama ini, semoga pulau Jawa, akan menjadi bagianmu
kelak”. Lalu Damar Wulan-pun menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Dikisahkan pula pada abad 14, dimana
para WaliSongo, sudah menduduki maqomnya masing-masing, salah satu dari
putra Prabu Siliwangi, yang bernama Kian Santang, malah sebaliknya
bertolak belakang dengan sifat kakaknya Prabu Walang Sungsang atau Mbah
Kuwu Cakra Buana, yang terkenal arif dan bijaksana.
Kian Santang, dengan jiwa mudanya selalu
berambisi untuk menjadi orang No-1 dalam ilmu kesaktian, beliau juga
tak segan menantang siapapun yang dianggapnya sakti, baik yang berasal
dari aliran putih maupun hitam. Bahkan dimana beliau kedapatan kabar,
ada salah satu orang sakti di suatu daerah, beliau langsung
mendatanginya untuk mengadu ilmu kesaktian.
Tak jarang para resi dan pertapa lainnya
menjadi tumbal kesaktiannya juga para jawara maupun pembunuh bayaran
yang benci akan ulahnya tak luput kena getahnya pula.
Hingga di suatu hari beliau kedapatan
informasi bahwa di daerah Mekkah, ada salah satu jawara pilih tanding
yang terkenal akan kesaktiannya. Tanpa buang waktu beliaupun langsung
terbang menuju arah yang dimaksud.
Disini Allah SWT, telah menunjukkan
jalan terang baginya, karena sesungguhnya yang di cari Kian Santang,
adalah Saiyidina Ali RA, Sahabat Nabi Muhammad SAW, yang kurun dan
waktunya sudah jauh berbeda.
Namun atas keagungan-Nya… Saiyidina Ali
RA, diturunkan kembali ke bumi untuk membuka hidayah baginya menuju
jalan yang di ridhoi Allah SWT.
Sesampainya di tanah suci Mekkah, Kian Santang, langsung bertanya kepada seorang kakek pembawa tongkat: “Wahai kisanak,,,,taukah anda dimana tempat tinggalnya Ali, yang katanya mempunyai ilmu kesaktian luar biasa?”
Yang ditanya diam saja dan sambil
menancapkan tongkatnya ke tanah, sang kakek tadi langsung meninggalkan
Kian Santang, seorang diri.
Dalam hati Kian Santang, berkata!! Pasti orang ini tahu dimana Ali, berada, maka di kejarlah kakek tadi: “Wahai kakek jangan bikin aku gusar,,,,tolong katakan di mana rumah Ali”. Dengan nada kasar.
“Wahai anak muda, memang aku tahu di mana Ali, berada, namun tolong ambilkan tongkatku,,,aku lupa membawanya” sambil sang kakek menunjuk tongkatnya yang beliau tancapkan tadi.
Kian Santang, dengan entengnya
mendatangi tongkat sang kakek, yang tak lain adalah Saiyidina Ali RA,
sendiri,,,, Beliaupun langsung mencabutnya. Namun……….apa yang
terjadi…..Jangankan tongkat itu tercabut,,,bergerakpun juga tidak.
Berkali-kali Kian Santang, merapalkan
ajian untuk bisa mencabut tongkat itu namun semuanya sia-sia. Tahu siapa
yang dihadapinya saat ini,,,, beliaupun langsung sujud di kaki
Saiyidina Ali RA.
“Wahai kisanak,,,aku mengaku kalah dan ijinkan aku pulang”
Dengan rasa malu Kian Santang, langsung
cabut diri, beliau merapalkan ajian terbangnya. Namun lagi-lagi ilmu
yang di milikinya tak bisa membawanya pulang. Bahkan bukanya dia
langsung raib seperti biasanya, malah sekarang dirinya seperti katak
sedang berjongkok, diam dan masih di tempat semula.
Dengan tersenyum Saiyidina Ali RA, berkata: “Kisanak, bila engkau ingin pulang, ada satu ilmu yang bisa menghantarkanmu sampai ke pulau Jawa”.
Merasa dirinya ada harapan,,,, maka di
turutilah ucapan sang kakek tadi dan setelah keduanya singgah di salah
satu bangunan tua, Saiyidina Ali RA, yang sudah mengenalkan jati diri
kepada Kian Santang, mulai mengajarkan Kalimat Syahadatain dan Hakikat
Bismillahirrohmanirrohiim.
Selang beberapa hari kemudian Saiyidina Ali RA, menyudahi pengajarannya:
“Wahai Andika, kini sudah saatnya
kau pulang, carilah orang yang tubuhnya bercahaya (Nur ke- Walian)
berikanlah sorban dan batu ini (kenanga lonjong) padanya, sesungguhnya
dialah bagian dari darah putraku Husen. Mengabdillah padanya”.
Dengan menghaturkan sembah bakti, Kian
Santang, langsung terbang menuju pulau Jawa. Siang malam beliau terus
mencari orang yang bakal menjadi gurunya kelak, rasa haru dan ingin
segera bertemu membuatnya haus akan Islam semakin bertambah.
Berbulan-bulan beliau terus mencari dari
satu tempat ke tempat lainnya, namun apa yang dicarinya belum juga di
ketemukan. Teringat akan kakandanya yang sudah lebih dulu masuk islam,
beliaupun langsung mendatanginya guna minta petunjuk atas ciri dari
orang yang selama ini di carinya.
Tepatnya pada malam 10 As-Syura tahun
1421M, dimana masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, sedang menggelar
Tasyakkur Akbar, atas pergantian tahun Islam, ditengah keramaian umat
manusia, seberkas cahaya terang benderang telah menahan kaki Kian
Santang, yang akan menuju rumah kakandanya. Ya….Cahaya itu datangnya
dari dalam masjid Agung.
Dengan hati berdebar Kian Santang,
membelokkan langkahnya menuju pintu dalam masjid, semakin dekat cahaya
itu semakin menyilaukan matanya hingga beliau tak sadar kakinya terjatuh
atas banyaknya orang yang berlalu lalang di dalam masjid.
Secara spontan Kian Santang, berkata sangat keras!!: “Wahai Nurulloh…..Wahai Waliyulloh….Wahai Ma’rifatulloh…Wahai orang yang mempunyai darah Saiyidina Husen!!!!” Tak ayal ucapannya ini membuat semua orang yang hadir tertuju padanya.
Dengan keadaan masih terduduk karena terjatuh tadi, tiba-tiba Mbah Kuwu Cakra Buana, sudah berada dihadapannya.
Melihat keyakinannya yang begitu matang
serta perjalanannya yang cukup lama dalam mencari seorang guru Mursyid,
Allah- pun membutakan mata kasarnya dan menggantinya dengan hati
Muthmainnah keagungan, sehingga sewaktu melihat apa yang ada di
hadapannya saat itu, beliau hanya melihatnya Nur (cahaya ke Walian) yang
begitu besar dan agung.
Kian Santang, langsung menubruknya sambil menangis hesteris: “Ya
Allah, jadikanlah aku muridnya, dan jadikanlah aku dalam Syafaatnya,
sesungguhnya aku tak mampu jauh darinya, Kau sudah menemukan apa yang
aku cari selama ini, satukanlah diriku dengan guruku selama-lamanya”.
Dengan perkataan Kian Santang, barusan, semua yang hadir langsung berucap “Asyhadu Anlaa Ilaha Illalloh, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rosululloh!!”
Kalimah inilah yang biasa di pakai para Waliyulloh, dimana ada salah
satu orang yang diangkat derajatnya menjadi Waliyulloh A’dzom.
Setelah sorban dan batu Kenanga Derajat,
pemberian Saiyidina Ali Ra, diserahkan kepada kakaknya, Kian Santang,
mulai mengabdi. Dan sejak itu pula beliau tidak pernah satu kalipun
memanggil Mbah Kuwu Cakra Buana, dengan panggilan kakak, melainkan
beliau memanggilnya dengan sebutan, Syaikhun Kamil atau Syeikhina Ruhul
‘Adzom.
Lima belas tahun Kian Santang, mengabdi
kepada kakandanya, dan selama itu pula beliau tidak pernah berani
menanyakkan sesuatu apapun kecuali gurunya sendiri yang meyuruh.
Pada suatu malam Mbah Kuwu Cakra Buana, memanggil adiknya Kian Santang: “Adikku….kau
kini boleh pergi,,,kurasa ilmumu sudah cukup, sebarkanlah Islam,
sebagaimana Rosululloh SAW, mengajarkan pada umatnya”.
“Bila selama kau ikut denganku ada
yang musykhil atau kurang paham, katakan saja padaku sehingga hatimu
bersih dari sifat Tadbir/hayalan” Dan dengan sifat khiidmat, Kian Santang-pun bertanya secara hati-hati.
“Guruku yang di hormati Allah,
memang benar apa yang Syeikh, katakan tadi, sesungguhnya selama ini ada
ganjalan yang selalu membebani hatiku. Bila Syeikh berkenan menjawab,
saya hanya ingin tahu amalan atau ibadah yang bagaimana sehingga sewaktu
pertama kali ku bertemu, tubuh Syeikh sangat bersinar terang. Dan
mengapa Saiyidina Ali RA, mengatakan bahwa Syeikh,, bagian dari darah
Saiyidina Husen” .
Dengan senyum mengembang, Mbah Kuwu Cakra Buana, menerangkannya: “Adikku,
siapapun itu orangnya, bila kita telah diakui oleh alam semesta,
niscaya maqomatlah yang menjadi baluran bajunya, dan dimana mereka
ditempatkan, maka semuanya tunduk atas karomahnya, tak lain semua itu
berawal dari derajatku sendiri, Pancawarna Tunggal Jati”.
“Allah, telah menempatkan Asbabnya
masing-masing, dan Allah, tidak pernah melihat hambanya dengan ibadah
lahir maupun ilmu kulit, melainkan Allah, akan selalu melihat hambannya
dengan cara ketundukkan hamba itu sendiri sebagai Thobaqo Antobaqnya
manusia terhadap Tuhannya. Sebagai ahli Jawa, Allah, telah mengutus
Malaikat Jibril AS, yang di sampaikan kepada Nabiyulloh Hidir AS, guna
menjumpaiku, dengan memberikan ilmu Pancawarna Tunggal Jati. Ilmu ini
bagian dari sastra alam semesta, dimana ilmu ini telah menyatu, maka
seluruh alam semesta tunduk dalam genggaman tangan (Quthbul Muthlak)”
“Sedangkan mengapa Aku di sebut sebagai
titisan darah Saiyidina Husen. Semua tak lain, karena keturunanmu dan
keturunanku bukan dari jalurnya melainkan dari Hyang Wisnu dan Batara
Brahma. Namun sejak zaman Nabi Adam AS, hingga kini, Allah, telah
menempatkanku ditengah jalan keduanya, yaitu menikahkan putriku
Pakungwati (dari keturunan Batara) dengan Syarif Hidayatulloh (dari
keturunan Islam) sehingga dengan bersatunya kedua aliran ini tidak ada
suatu perbedaanpun diantara keduannya untuk menuju Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar